Keresahan di Tempat Ini

Path_2016-05-31_16_25

Dokumentasi Pribadi

Para komika biasanya dituntut untuk menyajikan bahan stand up comedy berupa keresahan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin karena faktor keresahan yang dialami banyak orang inilah kemudian para penonton akan sangat puas tertawa karena para komika mampu mewakili rasa resah yang mereka alami selama ini. maka tak heran jika stand up comedy banyak digandrungi masyarakat akhir-akhir ini, termasuk aku.

Meskipun aku tak berniat untuk membuat materi stand up comedy, kali ini aku ingin menulis beberapa keresahan yang aku pikirkan setiap kali aku pulang-pergi naik angkot dari kosan ke kantor. Keresahan ini akan membahas tentang tempatku berdomisili saat ini, Parung-Bogor.

Sebelum berada di sini, aku belum pernah mendengar banyak informasi tentang Parung. Tapi anehnya, setiap kali teman-teman mendengar bahwa aku bekerja di daerah parung, mereka akan menunjukkan ekspresi aneh dan seolah ingin tertawa. Usut punya usut, ternyata Parung ini memang dari dulu terkenal sebagai daerah yang banyak dijumpai “j*blay”. Maka tak heran jika mereka menunjukkan ekspresi seperti itu.

Sudah sekitar 1.5 tahun aku tinggal di daerah Parung ini dan inilah beberapa keresahan yang aku temui di sini.  Pertama, apabila naik angkot di jalan raya parung setelah magrib (menjelang malam) maka akan ditemui banyak wanita seksi di pinggir jalan sambil melambai-lambai. Orang-orang biasa menyebut mereka “j*blay”. Setiap kali melihat fenomena seperti itu, dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. namun aku tak dapat berbuat apa-apa, begitu pun masyarakat sekitar Parung ini. Sebab keberadaan mereka sebenarnya sudah terorganisir dan kebanyakan dari mereka bukan penduduk asli Parung, melainkan pendatang.

Kenapa terorganisir? Sebab disini terdapat sebuah hotel yang biasa disebut sebagai hotel transit. Menyebutkan nama hotel transit di Parung akan identik dengan hal negatif yang mengarah kepada kegiatan “m*sum”. Hotel transit ini cenderung tertutup dan seolah dijaga ketat. Berdasarkan informasi dari temanku yang tak sengaja dapat masuk ke hotel tersebut, dia mengatakan bahwa penjagaan disana berlapis dan setiap kendaraan yang masuk akan diperiksa. Temanku ini tak sengaja naik angkot yang ternyata salah satu penumpangnya membawa semacam sound system yang akan dibawa ke hotel transit tersebut dan minta diantar ke dalam area hotel menggunakan angkot. Maka jadilah temanku ini masuk ke area hotel yang selama ini belum pernah ia masuki. Temanku ini bercerita bahwa yang berkunjung ke hotel tersebut kebanyakan adalah mobil-mobil mewah. Kemudian ada semacam tempat yang berisi wanita-wanita yang “duduk-duduk”, tak tau mereka sedang melakukan apa di tempat tersebut.

Keresahan kedua, fenomena kenakalan remaja di daerah Parung sangat meresahkan. Dampak dari kenakalan mereka ini menyebabkan sulit sekali ditemui tembok bersih di sepanjang jalan raya Parung. Coba perhatikan jika teman-teman melewati jalan raya Parung, maka dapat dilihat tembok-tembok yang penuh dengan coretan akibat vandalisme preman Parung. Tak peduli gedung perkantoran maupun rumah penduduk, tak luput dari ulah tangan jahil mereka. begitupun dengan rumah ibu kostku, padahal ibu kostku mengeluarkan biaya yang cukup mahal membuat pagar dari batu alam. Tapi dengan entengnya mereka menyorat-nyoret dan merusaknya.

Keresahan ketiga, tak hanya aksi vandalisme yang meresahkan, di Parung juga marak aksi trek-trekan diatas jam tengah malam yang sangat mengganggu. Pertama kali tinggal di kosan, aku tak bisa tidur nyenyak karena suara bising mereka yang trek-trekan sambil teriak-teriak tak jelas. Puncaknya terjadi ketika bulan ramadhan kemarin. Aku terbangun sekitar jam 00.00 karena mendengar banyak orang teriak di jalan depan kosan, kebetulan kosanku berada di pinggir jalan raya parung. Setelah aku mengintip melalui jendela, ternyata banyak sekali orang di jalan, mereka seperti orang yang tawuran, kesal sekali rasanya.

Namun disamping beberapa hal negatif yang aku temui di Parung, ada semacam kondisi paradoks di sini. Fenomena yang begitu berkebalikan daripada fenomena sebelumnya. Pertama, di Parung aku menemukan beberapa model sekolah yang tak biasa. Aku sebut tak biasa karena sistem sekolah yang diterapkan sangat berbeda dari sistem sekolah negeri atau sekolah pada umumnya. Di daerah parung ini terdapat sekolah alam pertama di Indonesia yang bernama School of Universe (SOU). Sekolah ini adalah sekolah swasta yang sangat mahal, maka tak heran jika yang mampu sekolah di tempat ini adalah anak-anak orang kaya. Sekolahnya tak memakai seragam, lebih banyak mengexplore alam dan praktek secara langsung. Oya program unggulan mereka adalah magang, bahkan ada anak SOU yang pernah magang di kantorku dan selanjutnya mereka katanya akan magang di Australia di bidang desain grafis -Wow-. Aku mendengar banyak sekali keunikan sekolah ini karena teman kosanku adalah guru-guru SOU.

Ada pula sekolah boarding School bernama Dwiwarna. Sekolah ini aku lewati setiap pulang-pergi kerja. Yang paling mencolok dari sekolah ini adalah baliho-baliho mereka yang selalu update tentang berbagai prestasi yang mereka raih, baik prestasi siswa maupun guru. Salah satu teman kosanku adalah guru disana. Beliau menceritakan bahwa biaya sekolah di Dwiwarna ini sangat mahal, hanya orang-orang tertentu yang mampu masuk disana. Sepertinya sekolah ini menerapkan sistem yang menekankan prestasi akademik pada siswa-siswanya. FYI, beberapa hari yang lalu, aku tak sengaja mengetikkan kata “Boarding School” di laman google, lalu ketika aku enter ternyata yang keluar di posisi pertama tentang informasi Boarding School adalah Dwiwarna muncul sebagai Boarding School termahal di Indonesia –whattt

Selain Boarding School  Dwiwarna, adapula sekolah Madania. Sekolah ini terdapat di komplek mewah Telaga Kahuripan. Sekolah ini tidak semua siswanya Boarding, adapula yang pulang-pergi sekolah dan rumah. Setelah mencari informasi dari beberapa teman, ternyata Madania ini merupakan sekolah beberapa anak artis. Salah satunya adalah anak musisi Gilang Ramadhan (suami Syahnaz Haque). Tentu saja, sekolah ini tergolong sekolah mahal untuk golongan menengah ke atas.

Tak jauh dari lokasi Dwiwarna, terdapat sebuah pondok pesantren bernama Daarul Muttaqien. Aku tak banyak informasi tentang pesantren ini sebelumnya, sampai pada suatu ketika, di kantorku mengadakan sebuah acara training untuk anak SMA dimana santri-santri Daarul Muttaqien menjadi pesertanya. Santri yang dikirim semuanya adalah laki-laki sebanyak lima orang. Aku perhatikan dari lima santri Daarul Muttaqien ini, penampilan dan tingkah laku mereka sangat berbeda dari remaja SMA lainnya yang juga ikut dalam acara tersebut. Mereka terlihat lebih kalem namun berwibawa, penampilan mereka bersih dan mereka memakai jam tangan yang terlihat mahal.

Setelah aku berbincang dengan teman satu timku, dia banyak bercerita bahwa pesantren Daarul Muttaqien ini merupakan sekolah filial dari Daarun Najah yang terkenal itu. Temanku ini juga mendapatkan informasi bahwa pesantren Daarul Muttaqien ini luas sekali apabila masuk ke dalamnya. Padahal apabila dilihat dari luar terlihat tak terlalu luas. Pesantren inipun juga tak berbeda dengan sekolah-sekolah yang aku sebutkan sebelumnya, pesantren ini mahal dan segmennya adalah masyarakat menengah ke atas.

Kondisi paradoks kedua yakni tentu adanya Dompet Dhuafa. Lembaga Dompet Dhuafa membangun banyak hal di daerah parung. Mulai dari RS. Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa yang merupakan RS tanpa kasir karena gratis bagi kaum dhuafa. Selain itu juga terdapat Dompet Dhuafa Pendidikan yang memiliki banyak program. Mulai dari SMART Ekselensia Indonesia, sekolah akselerasi berasrama 5 tahun (SMP-SMA) tanpa biaya bagi anak-anak pintar dari golongan marginal seluruh Indonesia. Beastudi Indonesia, yang berisi program beasiswa S1 sampai dokterspesialis. Kemudian Sekolah guru Indonesia dan Pusat Sumber Belajar. Adapula kampung wisata D’jampang, kemudian yang paling terbaru adalah masjid Al-Madinah. Aku merasa heran, kenapa Dompet Dhuafa memilih parung sebagai tempat untuk membangun semua itu.

Dua kondisi yang bertolak belakang ini, mulai dari kegiatan asusila, kenakalan remaja yang meresahkan masyarakat. Kemudian di sisi lain sistem pendidikan high class dan salah satu lembaga pengelola zakat terbesar di Indonesia, keduanya terdapat di Parung. Kedua kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab keresahanku di tempat ini, keresahan akan dua kondisi yang berbeda namun ada di satu tempat. Aku hanya berharap, semoga Allah semakin menghapuskan hal negatif dari tempat ini dan semakin memperluas serta memperbanyak hal positif yang akan memperbaiki citra Parung di mata masyarakat. Amiin…

15 comments on “Keresahan di Tempat Ini

  1. Klo ngomongin soal keresahan, kadang suka greget sendiri mba. Apalagi kadang sampe mikir “seharusnya gue ga disini.” Finally, tetep dr diri sendiri harus bisa adaptasi hehee nice story mba 🙂

    • yap..setiap orang pasti memiliki keresahannya masing-masing. 😀

      kalo saya pribadi memilih untuk menceritakan di blog keresahan saya agar menjadi pengingat bagi saya kalau saya pernah merasakan keresahan ini 😀
      dan sebagai sharing aja dan berbagi informasi bagi teman2 lainnya

      terima kasih ya udah berkunjung, salam kenal mas edo 🙂

  2. Info yang menarik ttg sekolah elite di sana… sebenarnya parung seperti miniatur indonesia… terjadi banyak gap sosial ekonomi pendidikan yang sangat besar… entah kapan gap itu bisa diperkecil… agar yang pintar dan kaya menjadi peduli pads yang kurang pintar dan miskin

  3. Potret menarik… tp kalau ngomongin paradoks macam itu, di tiap tempat kayaknya ndak jauh beda. Di sini, di tempatku tinggal, ada juga para jablay di tengah masyarakat yg terbilang relijius. Cuma mereka tidak nongkrong di pinggir jalan sambil melambai-lambai pengendara mobil, tidak, modus operasinya beda 😁

  4. Gap sosial ekonominya terasa sekali y mba, memang disetiap daerah pnya gap tersendiri tapi khusus utk yg sekolah elite itu jadi mikir kapan sih anak indonesia bisa dpat pendidikan yg adil dan merata 😦

Leave a reply to pradilamaulia Cancel reply